Pecinta Seni-Agus R. Sarjono, menyelesaikan
studinya di FPBS, IKIP Bandung dan pasca-sarjana Univesitas Indonesia. Menulis ajak,
cerpen, esai, kritik, dan drama. Karyanya sudah banyak yang dimuat di media,
baik nasional maupun internasional. Seperti Jurnal Indonesia, dan beberapa
media yang terdapat di Brunei Darussalam, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat.
Selain membaca puisi dan memberi workshop hampir diseluruh wilayah Indonesia,
beliau juga pernah diundang membaca puisi dan berdiskusi di mancanegara, antara
lain; “Asean Writers Conference/Workshop (Poetry)”, Manila (1994); “Festival de
Winternachten”, Den Haag, Belanda (1999); “Phoetry on the Road”, Bremen, Jerman
(2011) dan “Internationales Literaturfesival Berlin”, Jerman (2001); “Word
Poetry”, Helsinky, Finlandia (2005).
Selain sederet
kegiatanya di luar negeri sebagai tamu undangan, beliau juga pernah tinggal sebagai satrawan tamu di Belanda ,
ada tahun 2001 lalu, dan di Jerman sebagai peran yang sama pada tahun 2002
hingga 2003. Beliau begitu aktif menulis sajak, salah satunya adalah “Demokrasi
Dunia Ketiga”, yang beliau tulis pada tahun 1998;
Demokrasi Dunia Ketiga
Kalian
harus demokratis. Baik, tapi jauhkan
Tinju
yang kau kepalkan itu dari pelipisku
Bukankah
engkau... Tutup mulut! Soal tinjuku
Mau
ku kepalkan, ku simpan di saku
Atau
ku tonjokan kehidungmu,
Tentu
sepenuhnya terserah padaku.
Pokoknya
kamu harus demokratis. Lagi pula
Kita
tidak sedang berbicara soal kau, tapi soal kamu
Yaitu
kamu harus demokratis!
Tentu
saja saya setuju, bukankah selama ini
Saya
telah mencoba... Sudahlah! Kami tak mau
dengar
Apa
alasanmu. Tak perlu berkilah
Dan
buang waktu. Aku perintahkan kamu untuk demokratis, habis perkara! Ingat
Gerembolan
demokrasi ang kami galang
Akan
menindasmu habis. Jadi jangan macam-macam
Yang
penting kamu harus demokratis.
Awas
kalau tidak!
1998
Berlatar
pada tahun 1998, dimana pada saat itu sedang terjadi pergolakan demokrasi
pemerintahan, Agus berusaha menggambarkannya memalui sajak di atas. Melaui
bahasa yang lugas, beliau seperti sedang bercerita apa yang beliau rasakan kala
itu, bagaimana negeri ini diancam berdemokrasi.
Selain
sajak di atas, masih banyak saja-sajak beliau yang sudah dibukukan, yaitu
Kenduri Airmata (1994, 1996); Suatu
Cerita di Negeri Angin (2001); A Story from the Country of the Wind
(2001); Frische Knochen aus Banyuwangi
(2002); dan Diterbangkan Kata-Kata
(2006,2007).
Selain
yang tersebut di atas, beliau mempunyai satu karya sajak yang begitu dikenal
orang, sebuah sajak yang bertema pendidikan, terdengar keras memang, sarat akan
kritikan pada dunia pendidikan di ngeri ini. Sajak ini ada di salah satu buku
kumpulan sajaknya, yaitu terdapat dalam buku Suatu Cerita di Negeri Angin yang
tgerbit pada tahun 2001 lalu.
Sajak Palsu
selamat
pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak-anaksekolah
dengan
sapaan palsu. Lalu mereka pun belajar
sejarah
palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka
terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang
palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka
ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk
menyerahkan amplop berisi perhatian
dan
rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan
membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan
bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk
mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai
palsu yang baru. Masa sekolah
demi
masa sekolah berlalu, mereka pun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli
pertania palsu, insinyur palsu. Sebagian
menjadi
guru, ilmuan, atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka
menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan
ekonom sebagai panglima palsu. Mereka saksikan
ramainya
perniagaan palsu dengan ekspor
dan
impor palsu yang mengirm dan mendatangkan
berbagai
barang kelontong kualitas palsu.
Dan
bank-bank palsu dengan niat menawarkan bonus
Dan
hadiah-hadiah palsu, tapi diam-diam meminjam juga
Pinjaman
dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
Yang
dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakat pun berniaga
Dengan
unag palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
Uang-uang
asing menggertak dengan kurs palsu
Sehingga
semua blingsatan dan terperosok krisis
Yang
meruntuhkan pemerintah palsu ke dalam
Nasib
buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
Meneriakan
kegembiraan palsu dan mendebatkan
Gagasan-gagasan
palsu di tengah seminar
Dan
dialog-dialog palsu menyambut tibanya
Demokrasi
palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
Dan
palsu.
Dari
sajak di atas kita sebagai pembaca dapat menilai, betapa selain mencintai dunia
satra, Agus juga begitu memperhatikan kondisi negeri ini. Melaui sajak lah Agus
tuangkan kepedulianya terhadap ibu pertiwi. Selain menulis sajak yang kemudian
dibukukan, beliau juga menulis essai seperti Bahasa dan Bonafiditas Hantu
(2001), dan Satra dalam Empat Orba (2001); Sementara dramanya adalalah Atas
Nama Cinta (2004). Lebih dari sepuluh telah dieditorinya. Yang terbaru adalah
Poetry dan Sincerity (2006), sedangkan terjemahan yang telah terbit adalah
Kepada Urania, Joseph Brodsky (1998); Impian Kecemburuan Seamus Heaney (1998);
Zaman Buruk Bagi Puisi, Bertolt Brencht (2004); Cand dan Ingatan, Paul Celan
(2005); dan Satu dan Segalanya, Johan Wolfgang von Goethe (2007)
Agus
pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarata (DKJ) periode 2003-2006,
anggota Majelis Sastrea Asia Tenggara, editor Seri Puisi Jerman, dan anggota
Sidang redaksi Jurnal Orientierungen (Bonn). Kini Agus banyak menghabiskan
waktunya sebagai pengajar pada jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) Bandung, serta sebagai redaktur Majalah Sastra Horison.
***Risa
Surya Hidayat, 011.011.053